Secangkir Kopi, Sebatang Rokok dan Pikiran Liar
Jumat, 14 November 2014
0
komentar
Oleh
Secangkir kopi dan sebatang rokok ku lewati hari ini dengan pertanyaan..”adakah cinta untukku untuk esok hari?”.
Sementara
asbak rokok sudah mulai penuh dengan belasan batang rokok yang kuhisap
semalam, dengan demikian berpuluh puluh lubang bertambah di paru paruku,
entahlah bagiku rokok adalah sahabat sejatiku.
Kutengok
jendelaku yang kusennya sudah mulai lapuk, penjaja keliling sudah mulai
bertarung dengan dingin malam, hanya untuk mengejar rupiah untuk
menghidupi keluarganya.
Sementara...
Seperempat
abad bukan waktu yang singkat. Cerita atau lebih mendekat pada sebuah
legenda, terjadi dengan haluan yang tidak jelas akan kemana menepi.
Kehidupanku seperti angin tak dapat kulihat bagaimana bentuk rupanya
karena sampai sekarang ini aku belum melihat titik kemana kaki hidupku
akan melangkah, setidaknya aku masih bisa berharap dan bercita-cita agar
hidupku bermakna, paling tidak untuk diriku sendiri terlebih
orang-orang yang berada si sekitarku. Kata-kata…aku tak tahu lagi dengan
kalimat yang bagaimana kulukiskan perasaanku saat ini, kegamangan,
kebingungan, entah perasaan apa lagi yang menari-nari di kepala dan di
dadaku.
Inikah
hidup?’ entahlah, kebingungan ini telah menjelma seperti sebuah bom
waktu yang memiliki daya ledak yang maha dahsyat dan aku tak tahu kapan
itu akan meledak dan bagaimana atau apa yang akan terjadi pasca ledakan
itu?. apakah aku akan ikut hancur dan terporak poranda bersamanya atau
kebingungan itu sendiri yang akan lenyap untuk selama-lamanya? kuharap
begitu.
Hidupku
menyerupai sebuah simponi karya kelas jelata, monoton, lebih pada
syair-syair yang berisi tentang kesedihan proletarier yang dimarginalkan
oleh nasib, yang tercipta oleh kebodohannya sendiri. Aku muak, muak
pada kehidupan yang manusia-manusia munafik yang mementingkan cara
berbicara ketimbang cara bertindak, juga muak pada sifat yang tidak
menghormati hidup orang lain, yang merasa dirinya lebih baik dari orang
lain.
Tubuhku
adalah terjemahan dari sebuah hikayat kemanusiaan yang memiliki sebuah
kisah tentang perjalanan cinta, sayap-sayap ingatanku masih menyisakan
sosok perempuan masa kini yang menjunjung tinggi kesetiaan. Sosok
perempuan yang mungkin takkan pernah akan terhapuskan dari ingatanku,
sosok yang penuh pesona, bagaikan sekuntum melati yang tersiram ratusan
tetes embun pada suatu pagi. Bayangan itu terus menari-nari di depan
mataku, namun takdir pula baru-baru ini merenggutnya dariku, beberap
hari ini aku masih mencaoba dan terus mencoba untuk menghapus sosok itu,
sembari menyusun konsentrasiku untuk menggarap sesuatu yang sudah
bertahun-tahun terabaikan, yang merupakan syarat yang pernah
diberikannya padaku, uah walaupun dia telah pergi namun aku akan terus
menyelesaikan ini, yah... semua yang pernah menjadi janjikan akan tetap
ku perjuangkan, serumit apapun itu. Paling tidak sekarang aku ingin
memberikan ini kepada orang tuaku yang sudah beranjak semakin tua,
paling tidak aku ingin memberikan setitik kebahagiaan kepada mereka.
Sudah
gilakah diriku? entah... kucoba rebahkan tubuh penatku diatas tempat
tidurku, mencoba bernegosiasi dengan pikiran untuk melupakan
peristiwa-peristiwa yang terjadi beberapa hari ini, ku matikan lampu
kamarku namun kegelapan justru mekin memperjelas dan mempertegas
kesunyian itu, sebuah sosok seakan melambai mencoba meraihku dan ku
ulurkan tanganku coba untuk merengkuh tangannya, namun tanganku tak
sampai…terlalu jauh untuk ku raih, sementara aku sudah terlalu payah,
oleh keletihan yang amat sangat, terlalu banyak peristiwa-peristiwa yang
membuatku ingin segera beranjak darinya.
Namun aku
tetap gelisah, ku miringkan badanku ke arah yang sudah berkali kali
pernah ku lakukan, namun sekuat aku berusaha, sekuat itu pula bayangan
itu menggangguku, seolah memaksaku untuk melakukan sesuatu yang aku
sendiri tidak tahu.
Selewat
seperempat abad ini banyak hal yang telah tertanam di dalam hati lalu
menjelma manjadi sebuah gunungan hasrat yang tiada terlebihi oleh apapun
di dunia ini, hasrat itu menginginkan pribadiku tereinkarnasi dalam
sebuah pribadi yang sederhana namun memiliki penglihatan setajam elang,
pikiran setajam pisau cukur, perabaan atau intuisiku lebih peka dari
ubur-ubur, pendengaranku dapat lebih menangkap musik dan ratap tangis
kehidupan, supaya aku tidak akan menjadi manusia takabur, manusia yang
lupa pada bagaimana dan dimana peradabanya dimulai.
Sementara
kakiku semakin letih melangkah, bahuku terlalu berat menanggung beban
yang lama menggayut. Yang terkadang membatasi ruang gerakku, namun
pikirankulah yang semakin lama semakin jauh melayang mengitari
langit-langit batok kepalaku, pikiran tentang sekuntum bunga yang
kutemukan pada suatu sore yang tak bernama. Bunga itulah yang tumbuh dan
berakar didalam hatiku. Bunga yang aromanya hanya mampu terwakili oleh
kembang setaman, dimana bidadari turun dan bermain main didalamnya.
Hatiku luluh lantak hanya oleh sekuntum bunga, bunga yang sama sekali
tiada berduri, hanya aku sendirilah yang menciptakan duri itu.
Kamar Sunyi 29-06-2012 20.05
0 komentar:
Posting Komentar